Senin, 06 April 2015

AKU DAN PELANGI: MOZAIK KEHIDUPAN KEIRA Oleh: Warich Ajja

Aku seorang gadis yang sama halnya dengan yang lain, tak terlalu istimewa. Mempunyai masa kecil, dan mozaik-mozaik cerita kehidupan, yang terangkai dalam sebuah kenangan. Dan sekarang aku sedang mencoba merangkai mozik-mozaik itu dalam satu bingkai lukisan kehidupan.
Dulu…sampai sekarang, aku menyukai pelangi. Sangat! Senandung tentang hujan yang meluncur spontan dari rongga-rongga pita suaraku,  bahkan entah itu lagu apa, siapa komposernya, karena liriknya sangat tidak jelas. Sama tidak jelasnya dengan nada-nada yang kulantunkan, tanpa not balok, diiringi lompatan-lompatan kecil dan ayunan tanganku, sebagai tarian penyambut hujan macam tarian suku pedalaman Papua. Dan lagu itu juga yang sering kudengungkan tiap kali titik-titik air turun menguapkan panas.
Setiap usai hujan, tak peduli pagi, siang ataupun malam, kutarik-tarik tangan ayahku untuk menemaniku berburu pelangi, menunggu kehadirannya, sampai aku bosan dan lupa. Bahkan kadang dan sering, itu membuat ayahku harus menciptakan jurus-jurus maut untuk merayuku, dan beliaupun kesal, karena ternyata aku cukup keras kepala. Aku tak pernah lupa, ayah tergelak saat aku memintanya mengambil pelangi itu dan membawanya pulang. Kubilang aku ingin menyimpannya dalam kamar, supaya bisa kupandangi setiap saat. Mendengar tawa ayahku, lantas puluhan tanya tentang konstelasi warna yang berbaur, melekat satu sama lain itu, menjejal di kepala, menghentak-hentak saraf otakku menyeruak mencari celah agar bisa kulontarkan dan segera mendapat jawaban.
 “Yah, mengapa pelangi hanya ada saat hujan saja, mengapa dia tidak datang setiap hari?”
Entah, apa jawaban ayahku saat itu tak terekam dalam memoriku. Yang jelas aku tak pernah puas, dan masih terus mencari jawabannya sampai saat ini.
***
Hujan ya hujan, artinya air di mana-mana. Menggenang dan becek. Kebanyakan orang mengumpatnya, karena mungkin memang tak ada yang istimewa. Karena pasti hanya menyisakan basah dan dingin. Berapa gelintir manusia yang menyukai hujan. Mungkin cuma anak kecil yang kegirangan saat titik – titik air itu membasahi tanah, membuat genangan dan kubangan.
Dan mungkin hanya aku yang tersenyum kegirangan macam anak balita saat hujan turun, karena sepenggal kisah manisku yang tak terlupakan berawal dengan titik-titik embun yang luruh membentuk ribuan panah air menghujam tanah dikampusku. Sisa-sisa molekul H2O  berpadu mesra dengan hangatnya sinar mentari. Dan pelangi dengan indah pesonanya menutup hujan sore itu. Aku tersenyum menatap pesona ciptaan Tuhan. Bagaimana Tuhan bisa melukis pelangi dengan enam spektrum warna yang indah, tanpa cat warna, tanpa kuas, dengan langit sebagai kanvasnya. Sungguh tak tertandingi. Bahkan oleh Leonardo Da Vinci, Rembrandt  atau juga Giovanni.
Tanpa kusadari, seorang cowok berdiri di sampingku, dan sama halnya dengan aku, dia menatap pelangi itu dan aku bergantian. Sepertinya dia ingin aku membagi keindahan sore ini. Hmm, bukan masalah.. Pelangi bukan milikku seorang. Perawakannya cukup tinggi, 175? Sepertinya lebih. Kulitnya bersih.
“Keindahan itu tak hanya dinikmati Non, tapi harus dicari maknanya. Pasti ada disana” ujarnya tiba-tiba sambil menatap pelangi itu tak berkedip. “Kamu tau, apa alasan Tuhan menciptakan pelangi?” lanjutnya.
Kulihat cowok itu sekilas. Dia sendiri, aku juga sendiri. Tak ada orang lain di dekat kami. Kutunjuk jidatku, seolah bertanya, apa dia sedang berbicara dengan aku. Dan dia mengangguk. Ooo...ooo??? Bilang dong Mas, kalo ngajak ngobrol, gerutuku dalam hati..
“Menghiasi langit…” Jawabku asal-asalan. Memangnya apakah ada alasan lain untuk menciptakan pelangi itu, selain karena keindahannya yang menghiasi langit? Buktinya, hingga saat ini aku masih saja menyukai hadirnya, memandangi adanya, menanti datangnya. Dan cowok itu hanya tersenyum mendengar jawabku. Busyet! Kerennn...
“Bodoh! Buat apa Tuhan menghias langit. Bukankah langit itu sudah sangat indah, meskipun tanpa hiasan?”
“Akan lebih indah jika ada pelangi. Lihat saja itu.” Sanggahku sembari merapatkan jaketku. Tas berisi tiga buku diktat tebal dan sejumlah buku catatan kudekap erat, kuharap bisa sedikit memberi hangat. Hawa dingin merasuki kulitku. Sinar matahari masih malu-malu, tak cukup membagi hangatnya dengan aku. Sisa hujan memang tak membuatku menggigil, tapi aku juga sempat bergidik.
“Bukan, sebenarnya langit tak membutuhkan pelangi. Dan tugas pelangi juga bukan untuk menghias langit. Karena kalau benar memang seperti itu, kenapa pelangi hanya muncul sesaat saja sesudah hujan, kenapa tak selamanya?”
Iya ya… Kenapa pelangi hanya muncul sesaat saja sesudah hujan? Mengapa dia lama kelamaan menipis, dan lenyap? Mengapa tidak selamanya? Ah, pertanyaan itu sudah lama bersemayam di otakku tanpa mampu kucari jawabnya. Sekian tahun.
“Karena pelangi itu indah.” Aku mencoba mencari jawaban lain. Yang menurutku saat itu, memang sungguh masuk akal. Karena apapun ciptaan Tuhan, pasti indah adanya.
“Itu bukan jawaban…”
“Lho…”
“Semua orang, bahkan anak kecilpun tau kalau pelangi itu indah. Mengapa mencari jawaban yang semua orang sudah tau. Itu bukan jawaban namanya…Plagiat, sama sekali tidak kreatif. Untuk apa sekolah dua belas tahun lamanya.”
Huft! Emosiku naik ke ubun-ubun, ujung rambutku bagai tersengat, menyulut saraf mataku untuk membulatkan bola mataku, dan aku mendelik!  Kelima jari tangan kananku kutarik, kubentuk kepalan besar, yang tentu saja tak sebesar kepalan tangan Jet Li. Karena aku sangat ingin menonjok hidungnya yang runcing itu. Karena aku ingin meninju dadanya yang bidang itu. Tapi di lain sisi, aku kagum juga. Melihat dari gaya bicara dan matanya yang berapi-api, aku tau dia pasti cukup smart.
“Tapi, tak ada seorangpun yang membenci pelangi. Setiap dia datang, tak ada yang ingin dia segera pergi.”
“Hampir. Ada jawaban yang lain?”
Aku menatap cowok itu sekilas. Ah, cowok ini… Heran, Aku dan dia sama-sama belum saling kenal. Tapi kenapa kami bisa ngobrol seakrab ini?
“Supaya…..”
“Supaya aku dan kamu dapat tersenyum seusai hujan, meskipun kita telah dibuat kesal karena basah dan dinginnya, kita akan tetap tersenyum dengan kehadiran pelangi. Ya kan?”
Mmm, jawabannya yang aneh. Tak pernah terpikirkan di otakku yang bebal ini sebelumnya. Tapi entah kenapa justru jawaban itu yang terus melintas di kepalaku, bahkan sampai saat ini, setiap kali aku bertemu pelangi. Dan karena jawaban itulah, aku tak lagi pernah bertanya mengapa pelangi ditakdirkan hadir hanya seusai hujan.
“Kenalkan. Namaku Rizky, fakultas Ekonomi, tingkat tiga.”
“Keira.”

***
          Begitulah. Awal kisahku dengan dia,  Rizky. Indah, sangat indah. Seindah pelangi yang menutup hujan. Seindah pelangi yang selalu membuat kita tersenyum meskipun hujan telah menimbulkan segunung kekesalan di hati kita.
Sangat indah. Melewati hari-hari dalam kebersamaan dengan ikatan yang sederhana. Melewatkan hari-hari kami dalam debat dan diskusi. Atau bergumul dengan buku-buku tebal. Tempat kencan favorit kami bukan taman atau bioskop. Bukan mall atau pantai. Tapi perpustakaan. Tenggelam dalam tugas-tugas kuliah yang menggunung.
 Tak ada rayuan, tak ada bunga saat dia menemui aku. Tak ada jadwal apel kalau malam Minggu. Aku dan dia bukan penggila romantisme. Bukan Harlequinn yang kami baca, tapi Hagemaru. Bukan coklat yang dia bawakan buatku, tapi hasil tulisanku yang habis dicoretnya. Aku tertawa tak habis-habis semalaman, saat dia datang membawa mawar segar. Perutku sampai mulas mengejeknya. Padahal mawar itu juga kusimpan sampai saat ini. Kering dan rontok kelopaknya satu persatu. Bagai fosil, tapi justru kubelikan tempat khusus untuk menyimpannya.
Saling mengerti dan memahami.

***
Hujan turun bukan sedang main-main. Sepertinya tandon air di langit jebol sore ini, ataukah para malaikat sepertinya sedang bermain perang-perangan dengan menggunakan pistol air. Akibatnya bumi terkena serangan panah air tak henti-henti. Atau Tuhan sedang memerintahkan para malaikat untuk sedikit membasahi neraka, dan sebagian airnya menggelegak lalu tumpah ruah ke bumi?
Jadwal kuliahku selesai pukul setengah lima, dan sekarang aku masih di halte bis. Sudah berlalu satu jam dan aku belum beranjak dari sana. Menunggu sedikit reda. Aku tak mau basah kuyup karena hujan. Meskipun aku suka hujan, tapi aku tidak suka hujan-hujanan, dan aku lebih suka jika tidak mendengar ibu ngomel-ngomel karena aku kehujanan.
Langit bertambah gelap. Bukan karena mendung saja, tapi juga karena petang sudah tiba. Suara adzan Maghrib sayup-sayup terdengar di gendang telingaku. Dan aku tak sedang menunggu pelangi, jadi tak ada senyuman seusai hujan kali ini. Lagi pula mana ada pelangi petang begini. Pelangi berbanding lurus dengan hujan dan matahari. Jika salah satunya tak muncul, bisa dipastikan tak kan ada pelangi. Dan itu artinya tak kan ada senyum seusai hujan petang ini.
Padahal aku ingin segera sampai di rumah. Sms Rizky tadi siang yang mengatakan besok dia pulang, membuatku tuli sore ini . Semua mata kuliah kuikuti dengan seksama, seksama merangkai satu persatu konstelasi warna pelangi, merekatkan enam spektrum warna yang super menakjubkan menjadi satu perpaduan yang sempurna. Dan berakhir dengan hentakan suara bariton mister statistik yang kemudian melemparku ke depan kelas untuk mengulas kembali angka-angka yang tak satupun aku paham. Aku nyengir macam kuda poni!!!
Hujan sudah mereda sepuluh menit yang lalu. Tapi aku justru mulai gelisah. Bis yang kutunggu juga belum muncul. Kemana sopir-sopir itu? Kemana gerobak kotak bermesin itu? Apa mereka juga takut hujan? Apa mereka takut badannya karatan? Sebenarnya aku tak sendiri di halte ini. Ada tiga orang lelaki yang juga berteduh sedari tadi. Mereka tengah ngobrol, entah tentang apa. Seorang ibu setengah baya duduk mematung. Aku ingin mengajak ibu itu ngobrol, tapi kelihatannya dia juga sedang sibuk dengan hatinya, yang mungkin juga sama dengan aku, menggerutu dan mengumpat.

18.10
Aku belum beranjak. Hatiku sudah gundah teramat sangat. Tinggal aku dan seorang lelaki yang diam saja sambil sesekali melirik kearahku. Aku diam tak bergeming dari tempatku. Ibu yang tadi sudah naik taksi yang kebetulan lewat. Dua lelaki yang lainnya pergi berjalan kaki. Tadinya, kupikir mereka juga sedang menunggu bis. Ternyata hanya berteduh.
          Dalam hati aku tak henti mengumpat hujan yang baru reda, juga bis yang tak kunjung lewat. Dan ternyata umpatanku tak berarti banyak, tidak juga mengurangi gundahku, bahkan justru aku bertambah gelisah saja.
          Laki-laki itu mendekatiku. Aku takut setengah mati… Jantungku berdetak dua tiga kali lebih cepat. Aliran darahku mengalir deras, kejar mengejar bagai lomba lari estafet 100 km. Jangan-jangan, jangan-jangan... Bagaimanapun juga, aku kan harus hati-hati, apalagi dengan orang yang baru pertama aku temui. Tak sedikit kejadian buruk yang sering tayang di TV membuatku bergidik. Aku mulai membayangkan yang tidak-tidak.
 Ah, ternyata aku sudah buruk sangka. Dia ramah sekali. Kami ngobrol sambil menunggu bis yang sama, yang entah kenapa sedari tadi tak satupun yang melintas di depanku. Sepertinya para sopir bis sudah kencan dengan segelas kopi, berbatang rokok, dan melupakan gelintir manusia yang keriput kulitnya menahan dingin.
Laki-laki itu menawari aku untuk mencari ojek saja, dan aku setuju. Apalagi malam sudah mulai turun. Kenapa tidak terpikirkan dari tadi ya? Manusiawi.

***
18.30
          Aku beranjak dari halte itu, diikuti laki-laki yang belum ku tau namanya. Aku juga tak bertanya, karena kuanggap tidak begitu penting. Kami menyusuri trotoar mencari pos ojek terdekat.
          Jalanan begitu sepi malam ini, padahal belum terlalu larut. Yah, hujan menyebabkan orang enggan keluar rumah. Mereka lebih suka diam di rumah, menikmati dingin dengan secangkir coklat panas.
Tiba-tiba kedua tanganku dicengkeram begitu kuat dan mulutku dibungkam sangat kencang. Tangan-tangan kasar, kuat, berotot. Tangan-tangan yang membuat aku tak kuasa meronta. Tangan-tangan yang membuatku ingin sekali berteriak, namun apa daya.  Saat aku menoleh, lelaki itu, yang ramah, yang menawariku mencari ojek, sudah bersama dua lelaki lain… Yang di halte tadi!!

***
Aku terisak di kamarku. Tak memperdulikan orang-orang terkasih disampingku, Ibu, Risky. Seribu pertanyaan ibu tak satupun yang mampu kujawab. Hanya kejadian semalam yang terus saja menari dalam otakku.  Mengejekku, menghinaku, mentertawakan aku. Membuat airmataku tak mau berhenti mengalir. Aku ingin mencabik semua yang ada dalam ingatanku, mencampakkannya, dan kemudian membuangnya. Aku tak mau kejadian semalam selalu ada di kepalaku, menyiksaku. Aku tak peduli saat ibu menatapku iba. Uraian airmatanya menambah perih luka di hatiku.
          Satu-satunya pelangi yang ingin kupersembahkan kelak untuk lelaki yang dua bulan lalu melamarku, sekarang terampas, hilang. Aku goyah! Aku tersudut dalam sebuah fakta yang menyakitkan. Aku tak mampu membuka mata karena yang terlihat hanya bayang kejadian semalam yang tak mampu kuhapus, secuilpun. Bahkan saat Rizky menghampiri aku, memegang erat tanganku dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja, bahwa dia akan tetap di sampingku, bahwa dia akan membawaku pergi dari jelaga hitam ini,  aku hanya menjawabnya dengan tangis.
          “Kamu pelangi yang sesungguhnya, Kei. Dari dulu dan sampai kapanpun itu. Dan aku tak peduli bagaimana warna pelangi itu saat ini. Aku tak peduli meski itu kelabu, karena bagiku, kamulah satu-satunya yang mampu membuat aku tersenyum. Dan aku tetap ingin pelangi itu tetap hadir setiap saat, bukan hanya seusai hujan bahkan disaat terik. Percayalah, Kei. Aku akan selalu disisimu, sampai kapanpun itu.”
Aku tak mampu menatap lelaki didepanku ini. Kasihnya, ketulusannya, ketabahannya, kelapangannya…semua ternyata menyiksaku, menambah perih penderitaanku.

***
Ibu, tolong maafkan anakmu ini. Tak mampu membalas ketulusanmu, tak sanggup memberimu sedikit saja kebahagiaan, kebanggaan, juga tak mampu menemanimu lebih lama. Doakan Keira, Bu. Semoga jalan yang Kei pilih tak selamanya dibenci Tuhan, semoga Tuhan melimpahkan  maaf-Nya untuk Kei, seperti ibu selalu yang selalu memaafkan Keira. Dan sampaikan pada Rizky, bahwa kasih yang telah dia berikan adalah pelangi terindah yang akan selalu Kei bawa, kemanapun itu.
Sungguh Bu, Kei tidak sanggup menatap masa depan yang suram ini. Ini memang bukan yang terbaik untuk kita, tapi bagi Kei, ini jalan yang paling tepat.
Jangan menangis Bu, Kei akan tetap dihati ibu. Menemani ibu, sampai saat kita bisa bersama. Airmata ibu akan  memberatkan langkah Kei.  Tersenyumlah, Bu. Kei akan menunggu ibu, dan semoga Tuhan berkenan memberi Keira tempat yang sama dengan ibu kelak. Maafkan Kei yang memaksakan diri untuk pergi…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar