SESEJUK EMBUN CINTA IBU
SESEJUK EMBUN CINTA IBU
“ Dari ujung waktu terlihat guratan yang tiada lagi dapat dibohongi oleh usia yang dimakan senja, seolah rona merah langit yang berkilau tiada mampu mengubah guratan nya menjadi halus, sehalus kain sutera. Hanya tertinggal sejuknya cinta yang kesejukannya seperti embun pagi yang mampu menyayat hati, andai engkau tahu ibu, cintamu tiada tertandingi meski harus mendapati kilat yang menggetarkan jiwa, ingin ku cium kaki yang menjadi surgaku dan ku wujudkan harapanmu pada ku, seketika langit menangis haru menatap jalan yang ku tempuh, dan menangis sendu merasakan kemuliaanmu yang tiada terganti ibu ”
by : Pinkan Kurnia
Pagi masih nampak cerah ketika aku mencoba terbangun dari ranjangku yang sudah hampir terlihat usang, begitu bau dinding-dinding kamar yang tercium sudah mulai menua, harus selalu ku hirup dengan rasa yang bertentangan dengan sejuknya udara pagi yang seakan mampu menghilangkan dahaga. Dengan segera ku bangkitkan tubuhku dan beranjak dari ranjang yang setiap hari sudah menjadi rutinitasku bahwa tubuhku tidak bisa lagi menahan linu di sekujur pergelangan siku, maupun bagian pinggangku lantaran kasurku yang tidak lagi berbusa. Suara dering jam weker di atas meja tulisku selalu menemani di waktu pagi, dan suara deringnya masih cukup nyaring ketika jarum jam tersebut mulai menunjukkan tepat pukul 04. 30 WIB pagi. Seraya kedua tanganku mulai merambahi jendela kayu yang ku coba buka secara perlahan demi mengharapkan sejuknya udara pagi. Sinar matahari yang biasa nya berwarna kemerahan terlihat sedikit secara perlahan menyembul dari ujung langit, dan saat – saat inilah yang tidak pernah aku lewatkan dimana ketika kedua mataku melihat rona warna cahaya langit, terasa tubuhku begitu kuat bermandikan cahaya yang bersayap putih dengan cahaya yang berkilau keemasan. Serasa aku punya sayap. Teriakan ku pun pasti akan sangat lepas dengan seolah diriku telah menggagahi dunia tanpa harus menginjakkan kaki di pijakan tanah yang mampu mengotori bagian tubuhku. Hemmm… pagi yang selalu ku rasakan, sebelum ibuku mulai memanggilku berkali-kali untuk mengingatkan waktunya ibadah sholat subuh. Terdengar adzan subuh yang telah berkumandang ternyata lebih dulu menyadarkanku dari lamunan pagi kali ini. Ku lihat ibuku pun mulai dengan khusyuk melaksanakan ibadah di dalam kamarnya, dengan terlihat begitu sendu di wajahnya meskipun wajah yang menua telah terukir jelas dengan guratan-guratan yang tiada lagi dapat membohongi usia senjanya. Senyum kecilku mulai menyeringai menatap wajah sendu ibu dari balik pintu yang sedikit terbuka, sambil akan mengambil air wudhu tak dapat ku lihat lagi ayahku berada di dalam rumah, sepertinya ayah sudah berangkat ke masjid melaksanakan rutinitasnya setiap pagi sebelum harus menunaikan baktinya untuk mengantarkan beberapa orang proyek yang akan melakukan pemasangan tower. Pekerjaan yang mulia pikirku ketika hantaman badai dengan kilatnya dapat menerjang jas yang selama hampir 30 tahun ayahku kenakan dan menggantinya dengan kaos dan celana jins biasa seperti yang saat ini ia bawa melakukan aktivitasnya menjadi seorang driver.
Matahari telah menampakkan keberaniannya untuk menyinari seisi alam, dan melaksanakan tugasnya dalam pergantian malam menjadi pagi lalu menjelang siang. Maka dengan terburu-buru aku segera bergegas untuk mandi dan menyelesaikan semester akhirku yang hampir tinggal beberapa bulan ini akan selesai. Sudah ku tunggu saat-saat itu tiba dimana ingin ku rengkuh kebahagiaan bersama ibu dan ayahku ketika aku wisuda nanti dengan mengecup kedua pipinya. Selesai ku rasakan segarnya dinginnya air pagi yang dengan berani menghempas sekujur tubuhku, lalu dengan segera aku pun menyambar baju kemejaku dan sekotak roti coklat yang menemaniku di sarapan pagi ini. Ku tata lagi dengan perlahan model gaya kerudungku lalu sambil berkaca aku pastikan bahwa penampilanku saat ini sudah rapi dan siap untuk menerjang kehidupan, kerudung cantik berwarna merah jambu dengan bercorakkan bunga tulip yang terlihat bermekaran di setiap ujung helainya mampu membuat ku seolah sedikit percaya diri dengan jilbab cantik pemberian ibu. Ku lihat lagi ibu ku yang sudah mulai melakukan aktifitasnya mengayak tepung dan mencampurkannya dengan sedikit beberapa bumbu sudah tentu menjadi aktivitasnya setiap pagi, sambil bergegas menghampiriku seraya memberiku sebuah mukena yang ku lihat dengan jelas kain nya berwarna putih bersih dan terlihat bahannya sangat dingin ketika ku sentuh, sudah tentu ini pasti mukena mahal pikirku.“Sayang, jangan pernah meninggalkan sholatnya ya, kalau kamu selalu membawa ini kemanapun kamu berada setidaknya agar membuat ibu dan ayah makin lega”. Mata ku yang hanya melirik tajam dengan dahiku yang sesekali mengernyit langsung menyambar mukena tersebut tersebut tanpa menghiraukan atau pun bertanya lagi pada ibu untuk apa beliau secara tiba-tiba memberiku sebuah mukena.
Terik matahari di pagi hari seolah mampu menantangku untuk tetap memantapkan semangat dalam melakukan aktivitas di setiap pagi. Beruntung wajahku tidak terlalu terkena teriknya lantaran kaca helm yang sebelumnya rusak telah di betulkan oleh ayah. Sambil terus menancapkan gas motor akhirnya gerbang pagar kampus yang kokoh berwarna hijau lumut mampu memberikan semangat tersendiri untukku agar terus berkeinginan kuat segera menyelesaikan pendidikan semester akhirku, demi segera mencari pekerjaan agar dapat membantu ibu dan ayah. Pendaftaran ujian akhir telah dibuka, penggarapan tugas akhirpun akan segera ku tempuh, sembari mengisi beberapa lembaran form persyaratan dan mengumpulkan file-file yang akan menjadi persyaratan ujian aku dan salah satu sahabatku yang memiliki keinginan keras untuk segera lulus langsung saja berlarian menuju ruang administrasi kampus. “ Nia, ini berkas-berkas syaratnya”. Teriak Era di tengah kerumunan mahasiswa yang sedang sibuk pula mengambil informasi persyaratan. Kontan saja kedua mataku membelalak kaget bukan main, ujian akhir semester tahun ini ternyata berbeda dengan beberapa tahun sebelumnya, yang dimana kali ini mengharuskan mahasiswa nya untuk membuat suatu alat yang tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit pikirku. Meskipun alat ini dapat diselesaikan dengan maksimal anggota nya hanya 2 orang namun aku tahu betul bagimana kondisi Era dan keluarganya, untuk menyekolahkan Era saja orang tua nya harus menjual 2 buah sapi milik keluarga. Apalagi kondisi ku sendiri, dimana gaji ayah hanya habis untuk membayar kekurangan hutang bank dan sudah berangsur beberapa tahun ini, dimana kami selalu tersiksa dengan adanya ancaman rumah yang selalu ada penyitaan. Belum lagi penghasilan ibu yang satu hari penuh hanya mendapatkan kisaran 50 ribu sampai 70 ribu saja dan itu semua sudah habis untuk menghidupi kami. “ Nia , kok kamu bengong?” Tanya Era padaku sambil mengibas-ngibaskan kedua tangannya di depan wajahku. “Sepertinya aku harus cari kerja tambahan deh Ra”. Jawabku padanya. “Loh bukannya kamu sudah setiap hari memberikan bimbingan belajar ya, bahkan sampai larut?” Tanya nya lagi dengan penuh rasa penasaran. “Era, kalau aku cuma andalkan penghasilan dari les-les an mau kapan kumpul uangnya untuk biaya tugas akhir kita?” jawabku sambil menjelaskan sedikit lebih panjang pada Era.
Kami berdua kemudian saling termenung mencoba berfikir sejenak mencari cara bagaimana harus segera mengatasi permasalahan ini. Disamping itu aku tidak ingin membuat ibu ku makin gelisah dan terlalu banyak pikiran dengan beban yang selama ini sudah cukup berat di embannya. “ Ra, memangnya orang tua mu masih ada dana buat pembayaran semester akhir ini?” tanyaku pada Era. “Yaah.. mungkin kalaupun mepet ayahku mencoba jual sapi yang tersisa, lumayan lah hitung-hitung penambahan ongkos. Kamu kan tau sndiri uang beasiswa kita saja sudah masuk untuk pembayaran uang semester bulan lalu.” Katanya panjang lebar. “ Hemm.. kalau kamu sih masih bisa ada yang di jual, tapi kalau aku?” Sambil sekali lagi tanganku ku topangkan di dagu sambil berfikir sekali lagi.
Sepulang dari kampus otakku tidak pernah berhenti untuk selalu berfikir dari mana lagi aku bisa mendapatkan tambahan uang. Belum selesai aku berfikir, kemudian secara tiba-tiba saja seolah angin berserta langit mencoba menghentikan perjalananku karena aku harus mencari tempat untuk berteduh sejenak, lantaran kali ini sepertinya langit sedang tidak bersahabat. Berteduh di dibawah bangunan yang masih tercium sangat tajam sekali bau cat temboknya, dinding nya yang masih nampak basah akan cat tidak membuatku seberani itu untuk menyadarkan punggung. Masih mendapati tempat untuk berteduh saja sudah sangat bersyukur sekali pikirku. Dengan sesekali ku tengok langit-langit terlihat kilatnya yang mulai bermunculan secara bergantian seperti ingin menemani hatiku yang saat ini sedang dilanda banyak tanda tanya. Hujan sudah mulai deras rupannya. Namun, seolah sedikit bersahabat mungkin ini cara Tuhan memberikan petunjukknya dengan secara tidak sengaja adanya sebuah kertas informasi tertempel pada dinding kaca dimana kertas tersebut menginformasikan sedang dibutuhkannya tenaga kerja yang mau bekerja keras meski hanya mengantarkan sebuah koran di setiap pagi. Maka langsung saja tepat dimana aku berteduh aku masuk ke dalam kantor tersebut untuk mencari informasi mengenai pekerjaan tersebut. Seperti sedang bermimpi petugas kantor percetakan koran langsung memintaku untuk datang esok pagi di pagi buta dan memintaku untuk langsung membawa berkas data diri serta beberapa syarat lainnya, yang kemudian dilanjut untuk langsug bekerja dan pemberitahuan mengenai gaji. “Yes, akhirnya Tuhan memberiku jalan”, Batinku. Meskipun kantor tersebut hanya membutuhkan tenaga kerja dalam kurun waktu 3 bulan namun gaji nya masih sedikitnya dapat menolongku.
Hujan telah usai, yang tertinggal hanyalah tetesan air yang jatuh dan masih sedikit menimbulkan suara gemricik air yang tenang. Langit makin lama makin berubah kembali bersahabat dengan warnanya yang mulai bercahaya. Pikiranku tiba-tiba langsung terlintas untuk segera menemui ibu yang setiap sore nya selalu ku temani ketika aku sedang tidak ada jadwal untuk memberikan pengajaran. Gerobak tua yang selalu setia menemani ibu selama hampir 3 tahun ini masih dengan kokoh berdiri meski cat nya sudah mulai hilang dimakan waktu. Pasti ibu saat ini sedang kedinginan ataupun terkena gerimisnya hujan, meskipun ayah mencoba membuatkan peneduh di atas gerobak namun tetap saja peneduh itu belum menjadi solusi karena setiap percikan air`hujan yang jatuh masih dapat mengenai sela-sela anggota tubuh. Sesampainya di tempat ibu sering berjualan, aku membantu ibu menggantikan nya menggoreng beberapa jamur, kentang, maupun ketela bahkan membuat jus. Ku biarkan ibuku untuk beristirahat sejenak sembari cara ibu yang tiada henti selalu melantunkan dzikir meskipun sedang beristirahat. “Kok kali ini sore sekali datangnya sayang?” Tanya ibu padaku. “Ooh, iya bu.. tadi masih ada urusan dulu di kampus.” Kataku sedikit berbohong. Jujur saja, aku tidak ingin membuat ibu ku makin memikirkan, dengan aku yang akan menjadi loper Koran ke setiap rumah-rumah orang yang berlangganan nantinya. Sudah cukup bagiku beban ini ingin ku tanggung sendiri, aku tidak ingin ayah dan terutama ibu ku merasa mereka adalah orang tua yang tidak dapat berbuat apapun demi anaknya. Aku hanya menginginkan bahwa setiap tetesan keringat ibuku saat ini dapat ku rasakan sekalipun mungkin tidak bisa menggantikan sudah berapa juta tetesan keringat yang ibu keluarkan selama bekerja seperti ini, demi menyambung hidup.
Malam mulai larut, suara binatang yang tersisa hanyalah suara cicak yang merayap di dinding rumah mengisyaratkan tiada lagi kehidupan yang riuh di hari yang sudah mulai gelap. Bahkan detak jarum jam dinding kamarku ikut menemani sunyinya malam yang hanyut akan lamunanku memiliki sayap agar dapat terbang bebas dan mengepakkan sayapku serasa berkata di atas sana bahwa aku ingin bebas, aku ingin merasakan bahagia. Sambil mencoba mengitari gedung – gedung tinggi dan angin yang sepoi nya mampu membawa ku harus segera terbangun di pagi buta. Tanpa berpamitan pada ibu langkahku segera bergegas sepagi ini usai menunaikan sholat subuh untuk mengawali hari dengan mengambil koran yang akan ku antarkan pada pemiliknya yang berhak. Mungkin hampir ada 25 ikatan koran dan majalah yang memenuhi tas ransel dan penjepit di motorku. Setiap sore pun hingga larut aku sudah jarang sekali menemui ibu untuk menemani nya lagi berjualan, lantaran kesibukanku yang harus mengatur waktu antara meloperkan koran, memberikan pengajaran, sampai konsentrasi pada tugas akhirku. Dan hanya mukena ibu lah yang masih dengan setia menemaniku dalam setiap sujudku. Hampir 3 bulan sudah aku melakukan aktivitas ini dari pagi hingga larut. Sampai aku tidak sempat lagi bertemu sapa lebih lama dengan ibu ataupun ayah. Di hari libur yang panjang ini ku sempatkan untuk berkumpul dengan keluarga dan pastinya membantu ibu yang sudah siap berjualan pagi ini. “Loh, ibu tidak berjualan?” kataku bertanya-tanya mengapa ibu tidak memasukkan bahan-bahan jualannya di bungkus plastic dan tas yang biasa ia bawa. “ ibu merasa tidak enak badan dek, untuk itu ibu kali ini lebih memilih berjualan di depan rumah saja.” Kata ibu sambil tersenyum kecil. Lalu ku tengokkan wajahku ke hadapan ayah yang sedang asik duduk sambil membaca koran, sembari mengernyitan dahi menandakan bertanya-tanya di otakku. Terlihat ayahku pun nampak masih tenang dan hanya melontarkan senyuman kecil yang hampir sama dengan senyum ibu. Seharian ini ku temani ibu berjualan di depan rumah, meski nampak sepi namun ibu masih tetap bisa tersenyum dan mencoba sesekali bercanda dengan ku. Sudah pasti jika berjualan di depan rumah sangat sedikit sekali peminatnya. Sebab, hanya beberapa orang disekitar rumah saja yang hendak ingin membeli. Namun, begitulah ibuku tiada kata lelah untuk apapun yang telah ia lakukan hanya untuk semata-mata membantu ayah dalam menyambung hidup. Meski ku lihat sesekali ia nampak termenung lalu mencoba menahan tetesan air mata yang hampir sedikit saja jika tidak tertahan akan keluar pada ujung kelopak matanya.
Hari pertama aktivitas setelah berakhir pekan, senin yang indah batinku. Pagi ini akan kuukir nama gelar yang sebentar lagi akan kuarungi. Gaji terakhir dari pekerjaan selama 3 bulan aku kerjakan aku terima hari ini. Gaji 3 bulan selama ini sengaja aku tabungkan untuk membayar segala administrasi dan pembuatan alat yang akan ku kerjakan bersama-sama dengan Era. Aku dan Era sama-sama menyumbang 50 % dana pada alat yang akan kami selesaikan dalam tugas akhir nanti. Tidak salah lagi orang tua Era terpaksa menjual sapi ternaknya yang tersisa demi menuntaskan pendidikan Era dan mengharapkan anaknya akan segera menjadi sarjana dan mencari pekerjaan yang lebih baik tentunya. Sudah pasti semua orang tua akan melakukan apapun demi anaknya. Ke pulanganku ke rumah entah mengapa ku rasakan hari ini lebih baik, bahkan sangat baik. Seperti mendapatkan hadiah saja kesabaranku selama 3 bulan bekerja menghasilkan sesuatu yang mampu membuatku bahagia karena tidak perlu menyusahkan dan membebankan kedua orangtuaku lagi. Ku rebahkan tubuhku di ranjangku, ku pejamkan kedua mataku dan baru kali ini aku mulai merasa bernafas lega. Ingin rasanya bermimpi hari yang indah, bahkan lebih indah dari semua ini. Aku cukup bersyukur Tuhan memberikan petunjukNya dan membuat kesabaranku menjadi makin luar biasa. Namun, sebelum aku ingin melanjutkan mimpiku panggilan ibu seraya membuyarkan khayalan yang sedang akan aku rencanakan. Sambil tersenyum kecil, guratan di keningnya nampak makin terlihat ketika ia sedang akan berucap. “Sayang, ini tolong disimpan baik-baik ya, janji lo harus segera di bayarkan dan jika ada sisa lebih, untuk lebih baiknya kamu simpan.” Kata ibu sambil memberikan segepok uang berwarna merah di atas telapak tanganku. Sungguh aku makin tidak mengerti apa maksud ibu kali ini, untuk itulah dengan beberapa tanda tanya besar yang hinggap di benakku, aku menanyakan pada ibu apa maksud dari uang ini. “ Maafkan ibu ya sayang, jika selama ini belum dapat memberikan yang lebih padamu, selama ini ibu tahu kalau kamu mencoba kerja keras sendiri demi mencukupi kebutuhan pribadimu, bahkan pembayaran sekolahmu. Sebentar lagi kamu akan wisuda kan? Dan ini salah satu tanggung jawab ibu dan ayah untuk ikut menuntaskannya. Ibu tahu hanya ini yang dapat ibu lakukan, berharap kamu nantinya akan segera lulus dan lebih lagi secara nyata mengarungi hidup yang makin keras di luar sana. Hasil dari kerjamu selama 3 bulan ini lebih baik kamu simpan baik-baik untuk nanti nya kamu akan mengarungi kehidupan yang baru setelah kamu mendapatkan gelarmu nanti. Ibu yakin, dari proses melamar pekerjaan, hingga mungkin nantinya kamu akan keluar dari kota ini untuk bekerja di sebuah perusahaan atau instansi yang kamu inginkan pastinya akan membutuhkan banyak biaya lagi, sehingga pakai uang ini dan simpan uangmu baik-baik.” Kata ibu menjelaskan padaku. “ Ini uang dari mana bu?” Tanyaku pada ibu sambil sedikit terbata-bata. Lalu, tanpa harus berfikir lama bayanganku seolah dilarikan pada gerobak ibu yang tiada lagi terlihat di tempat ibu berjualan. Selama ini alasan ibu dengan merasa lelah membuat ibu harus memilih untuk berjualan di depan rumah. “ Ibu menjual gerobak?” Kutanyakan sekali lagi pada ibu. Ibu hanya menjawabnya dengan senyuman, dan anggukan kecil terlihat di kedua mataku sambil meneruskan penjelasannya. “ Ketika kamu di warung ibu, berkas-berkas mu dan kertas informasi kerja tertinggal sayang, maka dari itu ibu tau mengenai apa yang sedang kamu pusingkan saat itu. Ibu merasa tidak dapat berbuat banyak untuk membantumu, untuk itu ibu dan ayah sepakat untuk menjual gerobak itu, pikir ibu dan ayah mencari uang kan tidak perlu harus dengan gerobak, semua sudah di atur oleh sang Pencipta, begitu pula mengenai rezekinya. Dimana, pondasi setiap kebaikan adalah ketika kita meyakini bahwa apa yang telah menjadi kehendak Allah pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi, untuk itu ibu senang bisa melakukan ini demi membantumu. Maka dari itu jangan pernah pula kamu tinggalkan kewajibanmu untuk selalu beribadah dan bersyukur”. Kata ibu sekali lagi menjelaskan dengan cukup detail. Kontan saja aku langsung memeluk tubuh ibu ku yang telah rentan oleh waktu, tetesan air mata ku tiada lagi dapat ku tahan demi menahan haru yang tidak bisa lagi ku sembuyikan. Sungguh betapa mulia nya hati ibu yang dengan rela memperlihatkan sekali lagi bahwa kasih sayangnya sungguh tidak dapat dibatasi dan habis dimakan oleh waktu. Begitu sejuk hati ibu, sesejuk embun pagi hari yang langit nya mulai merona merah dengan cahaya sinarnya yang sedikit demi sedikit bermunculan dan mulai menyinari pagi. Dalam hati aku berjanji mukena ibu akan ku bawa kemanapun aku pergi, tiada ku lupa apapun harapan ibu padaku. Dimana harapan ibu selembut kain sutera bahkan masih terasa lembut di hati, setinggi langit ketujuh bahkan mampu menembus pintu pintu langitNya, dan sebesar kasih sayang dengan kesejukan hatinya pada buah hatinya yaitu aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar